Sep 192010
Pagi itu, matahari mulai naik, namun burung-burung gurun enggan
mengepakkan sayapnya. Di suatu mimbar, Rasulullah SAW dengan suara
terbata memberikan petuahnya, “Wahai umatku, kita semua ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah
kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Al Qur’an dan sunnah.
Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak
orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama
aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang
teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu
dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan
tangisnya. Utsman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan
meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia
tercinta itu hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu
semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah
yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang
hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah SAW masih
tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah SAW sedang terbaring lemah
dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang
menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak
mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah
yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani
ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
“Siapakah itu wahai anakku?” “Aku tidak tahu Ayah, sepertinya baru
sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah
menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu
bagian wajahnya seolah hendak dia kenang. “Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di
dunia. Ialah malaikat maut,” kata Rasulullah SAW.
Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang
menghampiri, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, mengapa Jibril tak ikut
menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap
diatas langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” , tanya Rasululllah
SAW dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka,
para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu,” kata jibril. Tapi ternyata hal itu tidak membuat
Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
Rasulullah SAW berkata, “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku
kelak?”. “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar
Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali
umat Muhammad telah berada didalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan
roh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah SAW bersimbah
peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul
maut ini”, lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. “Jijikkah
kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah
SAW pada Malaikat penghantar wahyu itu. “Siapakah yang tega, melihat
kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar
Rasulullah SAW memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak
lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku.
(Peliharalah sholat dan santuni orang-orang lemah di antaramu)”.
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling
berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii”
–
“Umatku,umatku, umatku”
Dan, pupuslah kembang hidup manusia yang
mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli
‘ala Muhammad wa baarik wasalim ‘alaihi.
…
Tanpa kita sadari, berkat do’a Rasulullah SAW di atas, sampai
kapanpun tidak akan ada seorang umat Rasulullah SAW pun yang mengalami
sakaratul maut melainkan telah diringankan sakitnya karena doa beliau
tersebut.
Sungguh… betapa cintanya Rasulullah kepada kita…
Referensi:
http://www.faizalr.com/2005/08/detik-rasulullah-saw-menjelang.html