Sabtu, April 21, 2012

Semoga Manjadi Renungan Yang Terbaik

*****************************************

Bp. Ir. H. Rahmat Nurwan

******************************************

 

Mengejar Hak, Lupa Kewajiban August 28, 2011

Posted by merenung in Serba-serbi. Tags: , , trackback
By : Bp. Ir. H. Rahmat Nurwan.

Sebentar lagi, (kalau bukan kita yang meninggalkan Ramadhan), Bulan Yang Penuh Rahmah ini akan segera meninggalkan kita. Bulan dimana kita diberikan kesempatan untuk menggapai sebanyak-banyaknya Rahmah dan Ampunan ALLAH, sampai puncaknya terbebas dari api neraka (Mercy, Forgiveness and Freedom From Hell). Sayang bulan Yang di-Muliakan ini lewat begitu saja kecuali sedikit sekali yang telah  kita dapatkan.

Terlalu sedikitnya yang kita dapat, seringkali justru disebabkan oleh terlalu fokusnya kita mengejar hak-hak kita dan abai terhadap kewajiban kita. Kalapun kita meyakini ALLAH telah menjamin hak-hak kita, walau itu memang perlu kita upayakan, bukankah upaya itu juga merupakan kewajiban kita. Lalu bagaimana kita mengharap ALLAH memberikan hak itu kepada kita, jika kita justru tidak memenuhi kewajiban-kewajiban kita. Bahkan untuk merebut apa yang sering kita sebut hak itu, kita sering langgar semua adab, etika, moral bahkan hukum-hukum. Seolah hak itu harus direbut dengan cara semacam apapun.

Tetapi hidup memang pilihan. Bak pepatah gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Kita tak melihat kewajiban kita, tetapi sibuk memburu hak-hak kita. Bukankah hak dan kewajiban adalah sekeping mata uang dua sisi yang tidak bisa dipisahkan?

Puasa ini memang untuk ALLAH. Bukan hanya dengan  menjauhi yang haram, tapi justru menahan diri dari yang halal. Karenanya “yang haram aja susah, apalagi yang halal” bukanlah untuk orang yang beriman, demikian ustadz Arifin Ilham di radio saat memberikan kultum sore ini. Menghindari yang haram itu memang biasa dan sudah seharusnya, tapi mengendalikan yang halal memang bukan perkara mudah.  Seperti talaq (cerai), barang halal yang dibenci ALLAH, pasti  masih banyak barang-barang halal lainnya yang musti hati-hati kita upayakan, walau itu dengan alasan menuntut hak. Konsentrasilah pada kewajibanmu, dengan etika dan adab-adabmu, semoga ALLAH memenuhi hak-hakmu, tanpa perlu keraguanmu.

Ya ALLAH, banyak sekali kesempatan yang kami sia-siakan. Sampaikan umur kami agar bertemu Ramadhan yang akan datang.

 ### semoga manjadi renungan yang terbaik ###



Mencintai atau Dicintai August 9, 2011

Posted by merenung in Kehidupan, Umum. Tags: , trackback
By : Bp. Ir. H. Rahmat Nurwan.
 
Seorang kawan bertanya, bagaimana cara mengarahkan anak dengan benar. Kebetulan konteks pembicaraan adalah mencari sekolah yang cocok untuk anak. SMA Negri atau Swasta. Perguruan Tinggi Negri atau Swasta, dan seterusnya. Maklum, pas kenaikan, musim lulus lulusan dan cari sekolah. Tentu saja aku menjawab sesuai dengan apa yang aku alami saja, karena rasanya sulit menemukan kondisi  ideal, yang untuk setiap orang pastilah berbeda-beda.

“Saya bilang ke anak saya, kamu cari sekolah yang cepat bisa menghasilkan”, demikian kawanku ini.
Aku tanya; “Maksudnya menghasilkan itu apa?”.
“Maksudnya yang cepet bisa kerja dan dapet duit banyak”, begitu sahut kawan ini.

Aku bilang; “Itu ada benarnya tapi menurutku ada salahnya juga. Kita itu harus fokus pada amal (perbuatan) , dan bukan pada apa yang didapat (dibayar, dihargai dst). Karenanya kata ‘menghasilkan’ itu seharusnya menekankan pada ‘meng-hasil-kan’ bukan ‘men-dapat-kan’. Cepat dapat kerja itu harus dimaknai cepat mendapatkan tempat untuk ‘berkarya’, sehingga dapat  segera ‘bermanfaat’, terutama bermanfaat untuk ‘orang lain’. Jadi bukan fokus pada ‘apa yang akan didapat’. Seperti bayaran atau gaji yang banyak dan seterusnya.”

Teringat pada pilihan sederhana yang sering kali mendapat jawaban berbeda-beda. Lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai”. Banyak juga (terutama kaum perempuan) yang memilih, lebih baik “Dicintai”. Tetapi saat mereka disuruh memilih, lebih baik “Memberi” atau “Diberi” hampir semua memilih “Memberi”. Lebih baik “Menolong” atau “Ditolong”, semua memilih “Menolong”. Karena sesungguhnya fokus kita haruslah “Me” (beramal) bukannya “Di” menerima pemberian. Bukankah “hanya amal” saja milik kita? Yang lainnya akan kita tinggalkan?


Waktu aku tanya kawan ini pertanyaan sederhana itu, lebih baik “Mencintai” atau “Dicintai” dia jawab, “Mencintai”. Penasaran, aku lanjutkan bertanya, lebih baik “Kerja tidak dibayar” atau “Tidak kerja tapi dikasih duit”. Dia jawab, lebih baik “Kerja tidak dibayar”. Jadi pingin jail aku tanya, lebih baik “underpay” atau “overpaid”. Dia jawab “underpay”. Bukan cuma itu jawabannya. Dia menambahkan, “Saya berdo’a supaya “underpay”, karena ternyata rejeki (berupa pekerjaan, proyek dst) bertambah banyak, sampai kita tolak-tolak”.

Hah ..! Ganti aku yang kaget. Gimana nggak kaget, wong kalau berdo’a aku minta tambahan terus. Padahal kalau aku pikir-pikir, kurang apa sih hidup ini dicukupi oleh ALLAH, kok selalu minta tambah.

 ### semoga manjadi renungan yang terbaik ###


Saudara Muslim August 5, 2011

Posted by merenung in Umum. Tags: , , , trackback sumber : http://merenung.wordpress.com/2011/08/05/saudara-muslim/
By : Bp. Ir. H. Rahmat Nurwan.

Terus terang, aku bukan pendengar setia ceramah Almarhum KH. Zainuddin MZ. Walaupun sudah sejak sangat lama dengan tanpa sengaja sering mendengarkan ceramah beliau. Baik melalui radio, TV ataupun suatu acara yang sebelumnya tidak aku ketahui beliaulah yang akan berceramah.

Semoga ALLAH mengampuni dosa dan kesalahan beliau, menerima segala amal dan ibadahnya, melapangkan dan menerangi kuburnya dan menempatkan di tempat yang layak di akhirat kelak.

Ada sedikit cerita yang kebetulan aku tonton di  salah satu stasiun TV, saat membicarakan (mengenang) kepergian  beliau yang cukup mendadak. Saat itu, salah satu pembicara yang diundang adalah KH M. Nur Iskandar SQ, pendiri Pondok Pesantren Assidiqiyah. Beliau menceritakan salah satu kejadian yang tidak dapat dilupakan, tentang almarhum KH. Zainuddin MZ.

Sewaktu Pondok Pesantren Assidiqiyah dibangun, dengan bangunan semi permanen (mengacu ke dinding dari tripleks dan seterusnya) dan fasilitas seadanya, Kyai Nur Iskandar menelpon Kyai Zainuddin yang kala itu sudah menjadi kyai kondang sejuta umat yang kasetnya tersebar di seantero  bumi Indonesia. Maksud Kyai Nur Iskandar menelpon beliau tentu saja untuk mengabarkan pendirian pesantren barunya, juga meminta do’a (restu) agar pesantren dapat berkembang dan maju.

Yang mengagetkan dan menjadi inti cerita Kyai Nur Iskandar SQ adalah tanggapan dari Kyai Zainuddin kala itu. Selain memberikan selamat dan mendo’akan agar pesantren barunya dapat berkembang, Kyai Zainuddin menambahkan “Kalau begitu, nanti saya tarik anak saya yang di Gontor dan saya titipkan di situ. Biar cepat maju”. Kalau tidak salah ingat Kyai Nur Iskandar bercerita bahwa dia menangis saat mendengar tanggapan Kyai Zainuddin. Bagaimana bisa anaknya yang di Gontor mau ditarik demi kepentingan pesantren baru yang tentu saja “kelas” nya dibawah Gontor yang begitu masyur. Tetapi itu nyatanya Kyai Zainuddin yang berusaha memberikan contoh perilaku muslim sejati.

Seperti di awal tulisan ini, aku mengakui bahwa aku bukan pendengar setia ceramah beliau. Bukan pula orang yang mengikuti tingkah polah dan kiprah beliau, sejak dari penceramah sampai masuk keluar partai. Kalaupun belakangan aku sering mendengarkan ceramahnya, karena memang beliau makin sering masuk TV. Walau aku tidak memeriksa ulang kebenaran kisah ini,tetapi cerita Kyai Nur Iskandar itu benar-benar menggugah. Betapa indahnya seorang muslim yang memikirkan kepentingan saudara muslim lainnya.

Teringat satu kesempatan mendengarkan kisah tentang pahala haji mabrur bagi seorang yang belum pernah menginjakkan kakinya di kota Makkah. Dikisahkan, sepasang suami istri yang tinggal di Syria menabung bertahun-tahun memendam kerinduan untuk pergi haji. Tetapi saat bekal uangnya telah mencukupi, justru diberikan kepada tetangganya yang didapatinya sedang kelaparan. Walau batal berangkat ke tanah suci, tetapi pasangan ini menjadi perbincangan malaikat tentang pahala haji mabrur.

Kisah inipun bercerita tentang bagaimana seorang muslim memikirkan kepentingan saudara muslimnya.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasanya hadits ini dikenal oleh setiap muslim. Tapi mengapa sulit sekali rasanya mengamalkan. Memikirkan saudara muslimnya seperti memikirkan dirinya sendiri. Menafkahi saudara muslimnya seperti menafkahi dirinya sendiri. Mementingkan dan mendahukan kepentingan saudara muslimnya seperti kepentingan dirinya sendiri. Karena kalau tidak salah, mendahulukan kepentingan dunia saudara muslim itu adalah perbuatan terpuji yang disunahkan, sedangkan mendahulukan urusan akhirat saudara muslimnya adalah perbuatan yang makruh. Betapa keimanan seseorang justru diuji pada bagaimana perlakuannya kepada saudara muslimnya.

Seorang kawan menulis status di wall nya : Sesungguhnya, orang yang “kaya sejati” itu tidak hanya memewahkan dirinya sendiri. Tapi juga memewahkan orang-orang yang ada di sekitarnya, dan dia ikhlas. (SD)
Ketika aku tanya apa kepanjangan SD pada akhir statusnya, dijawab “Self Defence”

 ### semoga manjadi renungan yang terbaik ###



Shalat Supaya (Juga) Bahagia dan Sehat July 21, 2011

Posted by merenung in Jum'at, Kesehatan. Tags: , , , , trackback
By : Bp. Ir. H. Rahmat Nurwan. 
 
Riwayat  yang menceritakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA terkena anak panah yang kemudian dicabut oleh sahabat lainnya pada saat menjalankan shalat, para ustadz menjelaskan dengan kata “khusyuk”. Begitu khusyuk nya Beliau Radhiyallahu Anhu shalat, anak panah itu tidak terasa saat dicabut, demikian penjelasannya.  Bagaimana kok sampai dicabut tidak terasa? Seperti apa khusyuk itu? Apakah khusyuk itu semacam trance (tidak sadarkan diri)? Seperti itu pertanyaan didalam kepala ini.

Entah bagaimana orang lain, tapi aku sesekali mencoba mencari bagaimana khusyuk itu. Dan rasanya sulit sekali mencapai bayangan itu. Kalau membayangkan saja tidak mungkin, bagaimana memahami apalagi mengalaminya.


Membaca buku The Miracle of Endorphin, karangan Dr. Shigeo Haruyama (lahir tahun 1940 di Kyoto, seorang dokter bedah lulusan Universitas Tokyo), mungkin adalah “salah satu” jawaban mengapa anak panah itu tidak terasa waktu dicabut. Bagaimana tidak, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Shigeo Haruyama, beta-endorhin  merupakan hormon yang dihasilkan otak yang berkhasiat dan bekerja lima atau enam kali lebih kuat dibandingkan obat bius (halaman 32). Karenanya hormon ini memiliki efek analgesic (penghilang rasa sakit). Dan karenanya kita menjadi mengerti cara kerja pembiusan akupuntur Cina. Di Cina, sejak dahulu operasi dilakukan tanpa anestesi dan pasien sepenuhnya dibius dengan jarum-jarum akupuntur (halaman 72).

Hormon yang satu ini disebut Hormon Kebahagiaan oleh Dr. Shigeo Haruyama. Dan mengapa otak memproduksi hormon jenis ini? “Saya yakin bahwa dengan itu, alam ingin memaksa kita untuk hidup bahagia”, menurut Dr. Shigeo Haruyama (halaman 32). Kalau ALLAH menciptakan kita dan memaksa kita untuk hidup bahagia (dengan Hormon Kebahagiaan itu), mengapa kita lihat banyak diantara kita yang hidup tidak bahagia?


Shalat pasti salah satu yang merangsang otak kita memproduksi hormon kebahagiaan (endorphin ) itu. Ritual yang kadang dipandang dengan kurang sepadan seperti berwudhu, sepertinya (ingin) dijelaskan oleh Dr. Shigeo Haruyama dengan pemijatan tsubo pada wajah yang merangsang  sekresi hormon kebahagiaan. Atau gerakan meditasi yang diajarkannya, pastilah sudah komplit diwakili dengan gerakan shalat yang sempurna itu. Ya ALLAH, betapa Engkau memaksa kami untuk bahagia dan sehat dengan “perintah” shalat-Mu.


Karena sudah sedikit mengerti, tinggal bagaimana berusaha shalat yang benar. Bukan saja untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, tapi juga membuat kita bahagia dan sehat. Ya ALLAH ajari kami shalat yang khusyuk.


 ### semoga manjadi renungan yang terbaik ###




Konsumtivisme Umrah April 20, 2011

Posted by merenung in Copy, Umum. Tags: , , trackback  


Tulisan copy paste dari; “Koran Republika, Selasa 19 April 2011, hikmah oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub”
Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an, antusiasme umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah?

Ada beberapa alasan :

# Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini.

# Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah.

# Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.

# Keempat, sebagai simbol gengsi baru sebab dengan menjalankan umrah, berarti di mata masyarakat yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan, konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah.

# Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga memengaruhi umat untuk berumrah.

Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin.

Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali.

Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.

Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu.

Tetapi, Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan.

Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka, uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Akibatnya, banyak janda, orang miskin, dan anak yatim.

Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut.

Di Madinah juga, ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunah.

Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya.

Kini, permasalahannya kembali pada kita, apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.




 ### semoga manjadi renungan yang terbaik ###